REFLEKSI EPISTEMOLOGI BAYANI RELEFANSI DENGAN KEMAJUAN UMAT


MAKALAH ISLAMIC WORLDVIEW

Disusun Oleh
Imam Khoiruddin
O100140041

Mata Kuliah
Islamic Worldview Dan Konsep Ilmu Dalam Islam
Sebagai Dosen Pengampu
Dr. Waston, M.Hum

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCSARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
     Dalam kehidupan manusia, manusia membutuhkan banyak informasi untuk menunjang kebutuhan ilmu pengetahuan baik secara tertulis maupun yang tidak tertulis, sehingga dalam kehidupan tersebut manusia harus mempelajari estimologi. Estimologi dapat disebut juga dengan teori ilmu pengetahuan karena mempelajari tolok ukur manusia, baik ilmu logika yang bersifat eksak atau ilmu sosial karena hal tersebut merupakan dasar ilmu pengetahuan.
   Epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi menjangkau permasalahan permasalahan yang membentang luas, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi Bayani
    Kata Bayan yang terdiri dari huruf-huruf ba - ya - nun, secara lughawi mengandung lima pengertian yaitu :
a. Al-washl
b. Al-fashl 
c. Al-bu'du dan al-firaq 
d. Al-zuhur dan al-wuduh 
e. Al-fashahah dan al-qudrah dalam menyampaikan pesan atau maksud
f. manusia yang mempunyai kemampuan berbicara fashih dan mengesankan.
     Dalam arti yang lain Kata bayani berasal dari bahasa Arab yaitu albayani yang secara harfiyah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Namun secara termenologi, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bayani, ulama ilmu al-balagah misalnya, mendefinisikan al-bayan sebagai sebuah ilmu yang dapat mengetahui satu arti dengan melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih (penyerupaan), majaz dan kinayah. Ulama kalam (theology) mengatakan bahwa al-bayan adalah dalil yang dapat menjelaskan hukum. Sebagian yang lain mengatakan bahwa albayan adalah ilmu baru yang dapat menjelaskan sesuatu atau ilmu yang dapat mengeluarkan sesuatu dari kondisi samar kepada kondisi jelas.
     Bayani adalah metode pemikiran khas arab yang didasarkan atas otoritas teks (Naskah), secara langsung ataupun tidak. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengtahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung tidak langsung berarti memahami teks secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga membutuhkan penalaran dan penafsiran. Meski demikian bukan berarti bebas meentukan makna dan maksutnya, akan tetapi tetap harus berdasarkan teks. Sumber teks dalam epistemology bayani merupakan Al quran dan Hadist. Oleh sebab itu sumber pengetahuan bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Hal tesebut penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan yang benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hokum yang diambil.
     Pengertian tentang bayani, berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’). Sedang dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu:
a. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Allah dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
b. Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
c.  Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
d. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atau sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah.

2. Sumber Epistimologi Bayani.
     Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushul al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini berbeda dengan pengetahuan Burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi bayani, karena sebagai sumber pengetahuan, di dalam bayani, benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum.
     Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan, dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu pula, mengapa pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadist, para ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhori menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis adalah sebagai berikut :
a. Bahwa perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuan dan standar akademis.
b. Harus ada informasi positif tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian lahir ilmu ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti Mushthalah al-Hadits, Rijal alHadits, dan sebagainya.

3. Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani. 
  Dalam pendekatan yang digunakan dalam memperoleh ilmu pegetahuan dapat menggunakan beberapa metode yang diantaranya :
   a. Metode Qiyas.
      Dalam kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
      1) Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran.
      2) Al-far, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
      3) Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
     4) Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl. Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya adalah :
a) Berpegang pada redaksi (lafad) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan shorof sebagai alat analisa.
b) Menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Menurut  Al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistemologi bayani tersebut digunakan dalam tiga aspek, yaitu :
           1) Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun furu’ (al-qiyas bi i`tibar madiy istihqaq kullin min al-ashl wa al-far`i li al-hukm). Bagian ini mencakup tiga hal, yaitu :
(a) Qiyas jali, dimana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat dibanding ashl.
(b) Qiyas fi ma`na al-nash, dimana ashl dan far` mempunyai derajat hukum yang sama.
(c) Qiyas al-khafi, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyâs jalî adalah seperti hukum memukul orang tua (far`).  Masalah ini tidak ada hukumnya dalam nash, sedang yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl). Perbuatan memukul lebih berat hukumnya dibanding berkata “ah”. Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan, hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah ashl (pokok) sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.
           
            2) Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far, atau yang menunjukkan kearah situ (qiyas bi i`tibar bina’ al-hukm ala dzikr al-illah au bi i`tibar dzikr ma yadull `alaiha). Bagian ini meliputi dua hal, yaitu :
                    (a) Qiyas al-illat, yaitu menetapkan ilat yang ada ashl kepada far`.
                   (b) Qiyas al-dilalah, yaitu menetapkan petunjuk (dilalah) yang ada pada ashl kepada far`, bukan illahnya.
              3) Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far` (qiyas bi i`tibar quwwah “al-jami`” bain al-ashl wa al-far` fayumkin tashnifuh) yang oleh alGhazali dibagi dalam empat tingkat, yaitu :
                    (a) Adanya perubahan hukum baru.
                    (b) Keserasian.
                    (c) Keserupaan (syibh).
                    (d) Menjauhkan (thard).

     b. Pendekatan Bayani
        Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks.
        Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna dan lafaz. Hubungan antara makna dan lafaz dapat dilihat dari segi:
1) Makna wad’i untuk apa makna teks itu dirumuskan yang meliputi makna khasam dan musytarak.
2) Makna isti'mali, yaitu makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna aqiqah dan makna majaz.
3) Darajat al-wuduh yaitu sifat dan kualitas lafaz, meliputi muhkam, mufassar, zahir, khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. 
4) Turuq al-dilalah, yaitu penunjukan lafaz terhadap makna, meliputi dilalah al-manzum dan dilalah al-mafhum.

4. Pendukung dan Validitas Keilmuan Bayani
   a. Pendukung Bayani
      Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam, ahli fiqih dan ahli bahasa. Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk corak pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya, maka pola pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi kaku. Menurut al-Jabiri, tidak dapat dipungkiri lagi, jika faktor politik dan sosial mempengaruhi kejumudan pemikiran bayani.
   b. Validitas Keilmuan Bayani
      Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah. Pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas (qiyas al illah untuk fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam). Epistemologi tekstual lughawiyyah (a ashl wa al-far’; al lafzh wa al-ma’na) lebih diutamakan daripada epistemologi konstekstual bahtsiyyah maupun spiritual ‘irfaniyyah-bathiniyyah. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran,karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai-sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
   
PENUTUP
     Untuk mendapatkan pengetahuan, epistimologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berperan pada redaksi (lafadz) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharaf sebagai alat analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.
     Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, Karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: 
     1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran, 
     2) al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,
     3) hukum al-ashl yakni ketetapn hukum yang diberikan oleh ashl, 
     4) illah yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl.

     Dalam pemahaman epistemology bayani yang hanya trpaku pada teks akan mendapatkan beberapa celah yang negative dikarenakan hanya terpaku pada teks ataupun naskah yang ada. Hal tersebut akan memungkinkan pada waktu pengumpulannya teks tidak ada maka hal tersebut akan menjadi sisi negative dari epistemology bayani dalam memberikan sebuah hokum terutama berkenaan dengan validitasnya. Akan tetapi dalam penentuan hokum tersebut terdapat teks yang lengkap epistemology bayani dapat dilaksanakan berdasarkan sumber teks tersebut dan dapat dipertanggung jawabkan kevaliditasannya, karena epistemology bayani ber sumber dari teks keagamaan.
     Dalam menyikapi terhadap ketiga epistimologi yang ada pada diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiaan.

Daftar Pustaka
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya,1423 H./2002 M, Maqayis alLugah,Bairut: Ittihad al-Kitab al-‘Arabi. ‘Abd al-Wahab Khalaf,1996, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Masdar Helmy,Bandung: Gema Risalah Press.
Amin Abdullah, 2007,Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, ,Yogyakarta : Suka Press.
Ibrahim Mustafa, dkk., al-Mu’jam al-Wasit, al-Maktabah al-Syamilah.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, 1991, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘Arabi.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, 2009, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, , Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah.
Soleh Khudori, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tag : study
0 Komentar untuk "REFLEKSI EPISTEMOLOGI BAYANI RELEFANSI DENGAN KEMAJUAN UMAT"

Back To Top