Disusun Oleh Imam Khoiruddin O100140041
Mata Kuliah : Study Al Quran.
Dosen Pengampu : DR. Moh Abdul Kholiq Hasan, M.A, M.Ed
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam mengkaji kebenaran suatu perkara dan kesahihannya, atau di dalam menentukan bahwa sesuatu itu benar, dapat dipercayai dan diyakini, atau ketika kita ingin menetapkan dasar pijakan suatu perkara yang kita ucapkan dan kerjakan, kita memerlukan adanya bukti-bukti, tandatanda atau petunjuk-petunjuk yang sah dan akurat, sehingga kebenaran, kesahihan dan keyakinan itu dapat ditunjukan dan dibuktikan, dan sekaligus kita dapat memberantas keragu-raguan dan rasa was-was yang mungkin tertanam di dalam hati kita, juga dapat dijadikan pijakan yang kokoh di dalam mengerjakan suatu perkara tersebut.
Di dalam hal ini, para ulama Islam telah menentukan dua landasan pokok yang harus di pegang oleh setiap Muslim di dalam hal-hal tersebut diatas, yaitu Naqli dan 'aqli. Dimana kedua landasan tersebut merupakan pijakan yang dipakai oleh mereka, khususnya, ketika mengungkap dan membuktikan kebenaran-kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu Tauhid atau akidah, dan ketika mengistinbath (mengambil dalil-dalil) dan menetapkan hukum-hukum perkara-perkara yang ada di dalam ruang lingkup disiplin ilmu fikih, serta ketika menafsirkan al-Qur'an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sumber diartikan segala sesuatu, baik yang berwujud benda maupun yang berwujud sarana yang menunjang lainnya yang tidak berwujud.[1] Sedangkan kata tafsir secara harfiah (etimologis), tafsir berarti اإليضاح) menjelaskan) dan التبيين) menerangkan) seperti dalam firman Allah SWT: واليأتونك بمثل إال جئناك بالحق وأحسن تفسيرا )الفرقان : 85)
Dalam ayat tersebut “tafsîr” bermakna ”tabyîn” dan “tafshîl”, terambil dari kata “al- fasr” yang berarti “al-ibânah” dan “al-kasyf”. Dengan demikian “al-fusr” dapat dimaknai sebagai menerangkan dan menyibak sesuatu yang tertutup. [2] Menukil penjelasan sebagian ulama, Amin Suma menjelaskan bahwa, “tafsir” diambil dari kata التفسرة dan bukan الفس ,yang berarti sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh para dokter untuk mendiagnosa penyakit pasien. Akan halnya seorang dokter yang dengan sedikit air mendiagnosa penyakit pasien, maka dengan “tafsir” seorang mufassir mampu menyimak isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Adapun dari sisi gramatika bahasa Arab, maka asal kata “tafsîr” dari “tafsirah” tampak tidak menyalahai aturan mengingat mashdar dari لَّ َعَف adalah تفعيل dan تفعـلة seperti yang tampak pada kata تجربة – تجريب – ب َر َّج - َيجرب atau pada kata َ تكريم -يكرم - َكَّرم تكرمة [3] .
B. Sumber Tafsir
Dalam memahami isi kandungan ayat-ayat didalam Alquran, butuh berbagai pengetahuan yang dalam terutama dari segi sumber-sumber tafsir itu sendiri. Untuk mengetahui tafsir Alquran yang dalam hal ini penulis mengangkat tiga poin yang yang menjadi sumber-sumber tafsir. Diantaranya sebagai berikut :
a. Wahyu
Wahyu (al-wahy) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu tersembunyi dan cepat [4] . Wahyu secara semantik berarti isyarat yang sangat cepat (termasuk, bisikan dalam hati dan ilham), surat, tulisan dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui. Secara terminologi adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dan diyakini bahwa pengetahuan itu datang dan berasal dari Allah, baik melalui perantaraan suara atau tanpa suara, maupun tanpa perantaraan [5] . Oleh karena itu, kita bisa menarik benang merah bahwa wahyu adalah menunjukkan informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu tanpa diketahui oleh orang lain dan dapat kita pastikan bahwa wahyu tidak sama dengan ilham.
Berdasarkan para ulama, salah satu sumber tafsir pada masa Rasulullah Saw adalah wahyu dan para ulamapun tidak ada yang memperselisihkan. Namun, kata ini mempunyai dua arti, pertama berarti al-iha dan kedua al-muha bih. Al-iha menurut pengertian bahasa adalah memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat. Sedangkan menurut istilah adalah pemberitahuan Tuhan kepada NabiNya tentang hukum-hukum Tuhan, berita berita dan cerita cerita dengan cara yang samar tapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya benar-benar dari Allah. Sedangkan Al-muha bih adalah yang diwahyukan, yakni Alquran dan hadis/sunnah Nabi, tetapi dari segi makna/jiwanya datang dari Tuhan [6] .
b. Al-Ra’yu (logika)
Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (I’tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminology tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi ar-ra’yi (disebut juga tafsir addirayah) – sebagaimana didefinisikan Adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil dari ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang telah ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh mansukh [7] .
Banyak hal dalam Alquran yang tidak dapat dijalankan bila tidak diperoleh penjelasannya, baik dalam Alquran maupun dari hadis yang bersumber dari wahyu. Dalam kaitan ini, apabila didapatkan suatu hadis tafsir yang secara implisit tidak mengisyaratkan adanya penjelasan dari kedua hal tersebut, maka hal ini mengandung arti bahwa tafsir itu adalah hasil ijtihad Nabi saw. Hal ini dilakukan Nabi, karena beliau ditugaskan dan diberi otoritas untuk menjelaskan kandungan isi Alquran. Selanjutanya, menurut Abd Muin Salim bahwa potensi pengetahuan yang dimiliki sahabat dalam menafsirkan Alquran dengan ra’yunya adalah:
1) Penggunaan fenomena social yang menjadi latar belakang dan sebab turunnya ayat.
2) Kemampuan dan pengetahuan kebahasaan.
3) Pengertian kealamaan.
4) Kemampuan Intelegensia.
Berkenaan dengan sumber-sumber tafsir yang telah diuraikan di atas, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kebolehannya untuk dijadikan sebagai sumber tafsir. Perbedaan pendapat muncul sehubungan apa yang dikutip dari tabi’in. akan tetapi kebanyakan ahli tafsir cenderung menggunakannya di dalam menafsirkan suatu ayat, karena mereka banyak mendapatkan penafsiran ayat dari para sahabat [8] .
C. Syarat mufassir
Para ulamak menyepakati bahwa menjadi mufassir harus memenuhi syarat yang diringkas sebagai berikut :
a. Aqidah yang benar
b. Bersih dari hawa nafsu
c. Menafsirkan terlebih dahulu antara al quran dengan al quran.
d. Mencari penafsiran dari sunnah
e. Apabila tidak menemukan dari sunnah hendaknya melihat pendapat dari sahabat
f. Apabila tidak mendapat rujukan dari al Quran, sunnah dan sahabat makan merujuk kepada tabi’in
g. Menguasai bahasa arab dengan baik.
h. Menguasai pengetahuan tentang prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al Quran dan mempunyai pemahaman yang cermat [9] .
D. Tafsir Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (الشيء نقل (yakni mengambil sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, dan (الحديث ةَلَقَن (yakni mereka yang menuliskan hadist-hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-sumbernya. Oleh karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau diambil dari Kitab Allah dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi [10] .
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw yang Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan Sunnah Nabi-Nya".
Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada riwayat riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in, seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir [11] .
Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-Qur'an, dimana kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan kerana terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang sunnah tersebut, bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan dengan al Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap Rasulullah saw setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam firman-Nya yang artinya “Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika kamu adalah orang-orang yang beriman”(QS. Al-Anfāl: 1) disebutkan juga dalam firman-Nya:“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan mereka” (QS. Al-Ahzāb: 36).
Sebagai contoh Dalil Naql adalah sebagai berikuti:
Al-Qur’an:
Artinya: "Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat"( QS. Al-Baqarah: 4).
Hadits Nabi saw:
فأخبرني عن اإليمان. قال:)أن تؤمن باهلل ومالئكته وكتبه ورسله واليوم اْلخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
( Artinya: "Beritahukan aku tentang Iman. Lalu beliau bersabda: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk" (HR. Muslim. (Dikutip dari himpunan hadits Arba'in karya Imam An-Nawawi).
E. Tafsir 'Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل :(akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية :(denda, (الحكمة :(kebijakan, dan (التصرف حسن :(tindakan yang baik atau tepat [12] .
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
a. Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara yang penting dan fitrah [13] .
b. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia. Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang.
Dan akal merupakan indera yang diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan" (QS. Al-Israa’: 70).
Sebagai contoh Dalil 'Aqli adala sebagai berikut yang artinya :
Allah swt 'Alimun (Maha Tahu) bahwa manusia adalah makhluk yang dha’if (lemah). Sedangkan Allah SWT adalah Tuhan yang Rahman (Maha Pengasih) dan Rahim (Maha Penyayang). Atas hal itulah Allah swt berkehendak memberikan bimbingan kepada manusia agar tetap menjadi makhluk paling mulia di sisi-Nya dengan memberikan pedoman berupa kitab suci lengkap dengan uswah hasanah (contoh tauladan) yang berupa seorang Nabi dan Rasul.
F. Tafsir Isyari
Kata al-‘isyarah merupakan bentuk sinonim (muradif) dari kata addalil yang berarti tanda, petunjuk, isyarat, sinyal, perintah, panggilan, nasehat, dan saran [14] . Tafsir Isyari menurut istilah adalah mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara maknamakna itu dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki oleh ayat yang bersangkutan [15].
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari almardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu:
a. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an.
b. Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat.
c. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
d. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
e. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas [16] .
Sebagai contoh dari tafsir Isyari adalah :
a) Ketika al-Ghazali menafsirkan potongan ayat surat thaha ayat 12. Yang Artinya:“ Maka tanggalkanlah kedua sandalmu;" Menurut al-Ghazali makna bathin dari ayat ini adalah “Tinggalkan (wahai Musa) kedua alammu, baik dunia maupun akhirat. Yakni, janganlah engkau memikirkan keuntungan duniawi dan janganlah pula mencari pahala ukhrawi, dan carilah wajah Allah semata.
b) Al-Tasturi menafsirkan firman Allah swt. Yang Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia.” (Qs. ar-Rum : 41)
Beliau berkata:” Allah swt mengumpamakan anggota tubuh ini bagaikan daratan dan mengumpamakan hati ini bagai lautan. Lautan itu lebih memberikan mampaat dan lebih membahayakan. Inilah ungkapan ayat secara batin, tidaklah kamu memerhatikan bahwa hati itu dinamakan dengan al-qalb, karena artinya adalah sesuatu yang berbolak-balik dan sesuatu yang terombang-ambing setelah tenggelam.”
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sumber diartikan segala sesuatu, baik yang berwujud benda maupun yang berwujud sarana yang menunjang lainnya yang tidak berwujud. Sedangkan kata tafsir secara harfiah (etimologis), tafsir berarti اإليضاح) menjelaskan) dan التبيين) menerangkan). Yang sumber tafsir tersebut dapat berupa wahyu ataupun laogika.
Dalil naqli istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau diambil dari Kitab Allah dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi.
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (عقل :(akal yang mempunyai beberapa makna, di antaranya: (الدية :(denda, (الحكمة :(kebijakan, dan (التصرف حسن :(tindakan yang baik atau tepat. Kata al-‘isyarah merupakan bentuk sinonim (muradif) dari kata ad-dalil yang berarti tanda, petunjuk, isyarat, sinyal, perintah, panggilan, nasehat, dan saran
DAFTAR PUSTAKA
Abidu Yunus Hasan 2007. Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,Jakarta: Gaya Media Pratama, Al-maktabah Asy-Syamilah.
Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II.
Izzan Ahmad.2011, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Takafur, Suma Amin.2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2, Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus,
Syaikh Manna Al-qaththan.2008, Pengantar Studi Ilmu Al-quran, Cet, III; Jakarta: Pustaka Al-kautsar,
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Cet I. Jakarta: Balai Pustaka,
Terj. Aunur Rofiq.2006, Pengantar Study Ilmu Al Quran, Jakarta, Pustaka Al Kautsar. Zuhdi Masjfuk.1993. Pengantar Ulumul Quran, Bag. I Cet. IV; Surabaya: Bina Ilmu,
Footnote
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet I. Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h. 565.
2 Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Cet. III, Jilid I,al-Qâhirah: Maktabat al-Wahbah, 1416), h. 15.
3 Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 15-16.
4 Syaikh Manna Al-qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran (Cet, III; Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2008), h. 34.
5 Ahmad Izzan, Ulumul Quran (Cet, III; Bandung: Kelmpok Humaniora, 2009), h. 42.
6 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Quran, Bag. I (Cet. IV; Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 7.
7 Ilmu Tafsir, h. 151. 5
8 Ali al-Usi, op.cit., h. 10.
9 Terj. Aunur Rofiq, Pengantar Study Ilmu Al Quran, (Jakarta, Pustaka Al Kautsar. 2006) h. 414- 417
10 Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, Al-maktabah Asy-Syamilah, hal. 3
11 Drs. Mochammad Asrukin, M.Si., Tafsir al-Qur'an: Sebuah Tinjauan Pustaka, Makalah, hal. 5
12 Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidatil Islamiyyah ‘ala Madzhab Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Daarus Sunnah, 1414 H, cet. II, hal. 40.
13 Muhammad Amaan Bin Ali Al-Jaamii, Al-'aqlu Wa An-Naqlu 'Inda Ibni Rusydi, op. cit., hal. 3
14 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Takafur, 2011), Hal: 88.
15 Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) Hal: 9
16 Ahmad Izzan, Metodologi, (Bandung: Tafakur, 2011), Hal. 89
Tag :
study
0 Komentar untuk "SUMBER TAFSIR DAN SYARAT-SYARATNYA"