REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM / ILM KALAM
(PEMIKIRAN HASAN HANAFI)
Makalah diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Islamic World View dan Flsafat Ilmu dalam Islam
Dosen Pengampu
DR. WASTON. M.HUM
Magister Pendidikan Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
A. PENDAHULUAN
Ada 3 hal pokok mendasar yang mempengaruhi perjalanan hidup seseorang di dunia ini, rumah, sekolah dan masyarakat, 3 pilar pendidikan ini memberi kontribusi langsung terhadap sikap dan prilaku seseorang dalam menentukan pandangan hidupnya. Seperti yang dikatakan Godfrey Thomson : bahwa pendidikan adalah pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tepat didalam kebiasaan tingkah lakunya, pikiran dan perasaannya [1].
Hasan Hanafi dibenak para pembaca penggemar tentang kebangkitan islam baik akademisi atau pembaca umum tentunya tidak asing. Pemikiran pemikirannya dapat disejajarkan dengan tokoh tokoh pemikir islam seperti fazlur Rahman, Mohammad Arkoum, Ali Syariati, Sayyed Hossen Nasr dan lain lain. Hasan Hanafi dalam forum internasional kerap di kenal dengan julukan “ Islam kiri “, karena pemikiran pemikirannya kerap berbeda denangan pemikir pemikir islam yang lain, pemikirannya yang bersifat kritis dan lebih mengedepankan al turats wa tajdid ( Tradisi dan Pembaharuan ).
Kebangkitam Islam bagi Hasan Hanafi adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali hasanah klasik, melakukan peerlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis realitas dunia islam. Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran keagamaan Islam.
Teologi islam (ilm al-kalam asy’ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun ‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniaannya, bukan dialektik tentang konsep watak sosial dan sejarah, disamping ini ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia.
Selain itu secara praktis, teologi tidak bisa menjadi pandangan yang benarbenar hidup dan memberi motifasi dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas dasar kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (spilt) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang akhirnyamelahirkan sikap-sikap moral ganda atausingkritisme kepribadian. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban),TimurdanBarat(dalampolitik), konservatisme danprogresivisme (dala msosial) dan kapitalisme juga sosialisme (dalam ekonomi).
B. BIOGRAFI HASSAN HANAFI.
Hassan Hanafi lahir di Kairo, pada 13 februari 1935 [2] dari bani Suwayf sebuah propinsi di Mesir dalam tepatnya di lokasi sekitar tembok benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan al-Azhar [3].
Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di al-Azhar, meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang disana sudah sejak lama [4]. Secara kultural , Mesir merupakan buaian di mana peradaban besar di dunia pernah hidup di sana sejak masa yang paling awal, mulai dari fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, mamluk dan Turki sampai dengan eropa Modern. Akan tetapi, sejak kecil Hassan Hanafi dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup yang pahit di bawah kekuasaan penjajahan dari pengaruh-pengaruh politik asing yang lain.
Nama lengkapnya adalah Hassan Hanafi Hassanain, masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalisnya, sehingga tidak heran meskipun sudah berusia 13 tahun ia telah mendaftar diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Hanafi ditolak oleh pemuda muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda, disamping ia juga dianggap bukan berasal kelompok pemuda muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. Pada tahun 1951, ketika (Hassan Hanafi ) masih duduk di bangku SMA, terlibat dalam perang urat syaraf dengan Inggris di terusan Suez, dan di sana ia menyaksikan para syuhada. Bersama-sama dengan mahasiswa dia mengabdikan diri untuk membantu gerakan revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 40-an hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota pemuda muslimin, pada tahun ini pula ia tertarik untuk mengikuti gerakan Ikhwan alMuslimin, akan tetapi, ditubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi di pemuda muslimin. kemudian, Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwan untuk bergabung dalam organisasi Mesir muda.
Ternyata, di dalam keadaan Mesir muda sama dengan kedua organisasi tersebut sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini yang menyebabakan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi dan perubahan sosial . ini juga yang menyebabkan ia memutuskan beralih tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam. Antara tahun 1952-1956 adalah masa Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat.
Di tahun-tahun ini pula ia merasakan situasi yang paling buruk. Pada tahun 1954 terjadi pertentangan keras pada Ikhwan dan gerakan revolusi. Ia berada pada pihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang jelas. Hanafi mulai optimis setelah Nasser berhasil menasionalisasikan Suez dan berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwaperistiwa yang Hanafi alami selama di kampus telah membuatnya bangkit untuk menjadi seorang pemikir, pembaharu dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah, mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan mengapa konflik internal terus terjadi [5] Dalam keprihatinan seperti itu, Hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne Perancis pada tahun 1956-1966.
Keberuntungannya di sini bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi sulit di negerinya , akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk menjawab atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi negerinya dan sekaligus Hanafi mulai dapat merumuskan jawaban-jawaban itu, sebagaimana ia akui, bahwa di Perancis ia di latih berfikir secara metodologis melalui kuliahkuliah maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemikir reformis katolik Jean Gaton, tentang metodologi berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricceur dan analisa kesadaran dariHusserl [6] serta bimbingan penulis tentang pembaharuan Ushul fiqh dari profesor Masnion [7].
Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi, sejak Hanafi pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. Hanafi kemudian ikut serta dengan rakyat, berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme mereka pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu Hanafi juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah ia peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya.
Hanafi menulis artikel-artikel untuk menaggapi masalah-aktual untuk melacak faktor kelemahan umat Islam [8] Di sini terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seseorang pemikir dan cendekiawan, Hanafi sangat peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Sebagai seorang pendidik, Hanafi sehari-hari meluangkan waktunya untuk mengajar di Universitas Kairo dan beberapa Universitas di luar negeri. Di tahun 1969, Hanafi menjadi professor tamu di perancis dan di Belgia pada tahun 1970. Di tahun yang terakhir ini, Hanafi terkena masalah dengan pemerintah sehingga ia di minta untuk memilih antara berhenti dari aktivitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua dan disana ia mengajar.
Hanafi mengajar di Universitas Templ (1971 -1975). Di tempat inilah Hanafi menggunakan waktunya untuk menulis tentang dialog agama-agama dan revolusi. Sepulangnya dari Amerika Hanafi memulai berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran Islam yang telah lama tertunda. Pertama, Hanafi merintis penulisan buku al-Turats wa al-Tajdid, (memulai pendahuluan atas pembaharuan yang Hanafi canangkan), namun akhirnya belum terwujud pula karena ia dihadapkan pada pergerakan anti-pemerintah Sadat yang pro-Barat dan melindungi Israel. Antara 1976-1981, terpaksa Hanafi membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya yang kemudian menjadi al-Din wa alTsawrah (8 Jilid) tahun 1980-1983, Hanafi menjadi Professor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 serta di Emirat Arab dan Maroko pada tahun 1983-1984, di sana Hanafi diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes [9]
Pengalamannya dengan para pemikir besar dunia dalam berbagai pertemuan internasional, baik di kawasan negara-negara Arab, Eropa dan Amerika membuatnya semakin faham terhadap persoalan besar yang sedang dihadapi oleh dunia dan umat Islam di berbagai Negara. Misalnya, Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara seperti Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang, Indonesia, India, Sudan, Saudi Arabia, dan sebagainya antara 1980- 1987 [10]. Maka, dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu terhadap persoalan umat Islam karena, meskipun tak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, Hanafi pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamanya dalam bidang akademisi dan bidang intelektual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir besar dunia, semakin mempertajam analisis dan pemikirannya, sehingga mendorong hasratnya untuk menulis dan mengembangkan pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan besar umat Islam.Situasi yang sedemikian rupa, di mana Hanafi lahir dan dibesarkan berpengaruh dalam pembentukan kepribadiannya.
Dari uraian di atas memperlihatkan kuatnya perhatian Hanafi dalam memperjuangkan kepentingan umat secara luas, juga keterlibatanya dalam gerakan-gerakan politik. Hal ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh situasional kondisi politik Mesir pada pembentukan kepribadian Hanafi [11]. Pada awal abad XX, di Mesir muncul gagasan liberalisme politik yang diadaptasi dari Barat. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok pemikir, golongan yang berpendidikan Barat berpendirian bahwa sistem politik Barat harus diterapkan di Mesir, guna memajukan masyarakat Islam di masa datang. Sedangkan golongan Islam tradisional yang kebanyakan Ulama’ dan selama ini menganggap dirinya sebagai penasehat pemerintah dalam aspek yang sangat luas termasuk kebijaksanaan politik, tidak memeiliki kesiapan, baik pemikiran maupun sikap dalam menerima sistem politik Barat itu, sebab disamping dipandangnya sebagai bid’ah, bahkan dianggap sebagai sikap pengingkaran terhadap ajaran Islam. Kondisi demikian membuat penguasa dari intelektual berpendidikan Barat menganggap ulama’ sebagai kendala modernisasi, bahkan penyebab timbulnya keterbelakangan di bidang sosial politik dan ekonomi [12].
C.REKONTRUKSI TEOLOGI HASAN HANAFI
Secara singkat pemikiran Hasan hanafi yang digagasnya lebih dikenal dengan pemikiran kiri islam oleh banyak orang ditopang oleh 3 pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi islam( revolusi tauhid) dan kesatuan umat.
a. pilar pertama : Revitalisasi khazanah islam klasik. Hasan Hanafi menekankan perlunya rasionalisasi untuk revitalisasi khazanah islam itu,merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraanmuslim serta untukmemecahkan situasi kekinian dari dalam dunia Islam.
b. Pilar kedua : Perlunya menantang peradaban barat. Ia memngingatkan para pembacanya akan bahaya imperialisme kurtural barat yang cenderung membasmi kebudayaaan bangsa bangsa yang secara kesejarahan kaya. Ia mengusulkan “ Oksidentalisme “ sebagai jawaban “ Orientalisme “ dalam rangka mengahiri peradaban barat.
c. Pilar ketiga : Analisis dan realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks ( nash ), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia islam dapat berbicaraa bagi dirinya sendiri. Menurut Hanafi dunia islam sedang menghadapi tiga ancaman, yaitu, imperialisme, zionisme dan kapitalisme dari luar; kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam [13]
Dalam Gagasanya tentangkRevitalisasi khazanah islam klasikdengan rekontruksi teologi tradisional, Hasan Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teolog tradisional menurut hanafi lahir dari konteks sejarah ketika inti Islam sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, sementara konteks sosial politik saat ini sudah berubah. Islam mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran dalam periode kolonialisasi.
Oleh karena itu kerangka konseptual lama harus di ubah karena berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern. Dalam pandangan Hanafi selanjutnya teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari kehampaan sejarah, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu kritik kepada teologi merupakan hal yang sah dan dibenarkan.
Menurut hanafi, Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan (seperti arti secara epistimologi dari kata Theose dan logos) melainkan theology adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu. Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu kemanusiaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di Kristen.
Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan hanafi gagal menjadi idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Melihat kegagalan teologi tradisional, hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi , serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Menurut Hasan hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatar belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut: Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi. Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negaranegara muslim. Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam. Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas. Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan - gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia ( bumi ), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan ; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi ( teologi ) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah. Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori, antara lain : Analisa bahasa.
Bahasa dan istilah - istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah - olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah - istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik - rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis - sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer. Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir ; dialektika, fenomenologi dan hermeneutik.
Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya. Artinya,kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal. Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx.
Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri ; persoalan kaya - miskin, atasan - bawahan dan seterusnya. Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl ( 1859 - 1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui minamal dua tahapan penyaringan ( reduksi ) ; reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena - fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas - realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolosi.
‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri ; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.
Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik ; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri. Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia. Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.
C. KESIMPULAN
Hasan hanafi adalah pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat islam dari keterbelakangan kearah kemajuan. Oleh kerena itu hasan hanafi melakukan kritik terhadap teologi Islam tradisional yang di nilai olehnya telah gagal dalam sisi teoritis dan praktis. Dari sisi teoritis, teologis islam tradisional gagal dalam mendapatkan pembuktian ilmiah dan filososis. Sedangkan dari sisi praksisnya gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme terhadap perkembangan dan kemajuan zaman sehigga menjadikan umat islam tertinggal jauh. Oleh karena itu hasan hanafi menawarkan rekonstruksi teologi islam agar islam menjadi agama yang tranformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia.
MAIN MAP REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM / ILM KALAM (PEMIKIRAN HASAN HANAFI)
DAFTAR PUSTAKA
Saleh, khoiruddin. 2004. Wacana Baru Filsafat. Pustaka Pelajar: Jogjakarta
Hanafi, hasan. 1996. Dari Akidah Menuju Revolusi. Paramadiana: Jakarta
Hanafi, hasan. 1996. Oksidentalisme; Sikap kita terhadap Tradisi Barat.Paramadiana: Jakarta
Hanafi, Hassan. 1999. Islam Kiri. Paramadina. Jakarta
Shimogaki,Kazuo.1997. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme.Yogyakarta : LkiS John L, Esposito, The Oxford Encykopledi Of The Modern Islamic World (New York
Oxford University Press,1995), Hasan,.Ridwan Ahmad, Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi keilmuan Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998),
Nurhakim Muhammad, NeoModernisme Dalam Islam, (Malang : UMM Press,2001 )
E.Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi(Jakarta: Logos, 1999),
http://id.scribd.com/doc/39806219/Makalah-Biografi-Dan-Pemikiran-Hassan-Hanafi4
https://pndkarakter.wordpress.com/category/pilar-pilar-pendidikan-karakter
Footnote
1 https://pndkarakter.wordpress.com/category/pilar-pilar-pendidikan-karakter
2 John L, Esposito, The Oxford Encykopledi Of The Modern Islamic World (New York Oxford University Press,1995), hlm.98
3 Moh Nurhakim, NeoModernisme Dalam Islam, (Malang : UMM Press,2001 ), hlm.199
4 E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi(Jakarta: Logos, 1999), hlm. 47
5 Moh. Nurhakim, Neomodernisme, hlm.70-71
6 Ibid
7 E. kusnadiningrat, Teologi, hlm.50
8 Ibid, hlm.50-51
9 Moh Nurhakim, Neomodernisme, hlm.12 7
10 Ibid, hlm.12-13
11 AH.Ridwan, Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi keilmuan Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998),hlm.12
12 Ibid, hlm.12-13
13 Kazuo Shimogaki,Kiri Islam antara Modernisme dan post Modernisme, telaah kritis pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta, LKIS, 1993, hlm.7-8
Tag :
study
0 Komentar untuk "PEMIKIRAN HASAN HANAFI ( REKONSTRUKSI TEOLOGI ISLAM / ILM KALAM )"